hanyainsani.com

Biografi Penulis Keluarga Cemara



Dikisahkan seorang anak laki-laki dilahirkan di kota Budaya (Surakarta) tahun 1948 dengan nama Sarwendo. Dalam hidupnya yang dilakoni selama 70 tahun, ia dikenal dengan kontroversi terbitan jejak pendapat di tabloid monitor, yang cukup sensitif berkenaan dengan agama. Tak ayal, dia masuk hotel prodeo karena hasil jejak pendapat yang dilakukan tidak melalui penyuntingan yang tepat. 

Meskipun beberapa orang tak menyukainya, nampaknya ia meninggalkan berupa-rupa karya yang mengena dan takkan terlupa. Seorang penulis sekaligus wartawan, yang menggantikan impiannya menjadi dokter, kemudian memulai kariernya sebagai tenaga serabutan pasca lulus dari perkuliahan. Mulai dari bekerja di pabrik bihun, pabrik susu, penjaga sepeda hingga pemungut bola. 

Di usianya yang menginjak 23 tahun, dia membuat karya pertamanya yang berjudul "Sleko" di majalah Bahari. Tak lama, setahun kemudian ia menjadi ketua bengkel sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah pada tahun 1972 di Solo. Sekitar tahun 1970-an ia membuat karya yang sangat populer, yaitu "Keluarga Cemara". Mengisahkan keluarga kecil yang hidup sederhana, jauh dari ibu kota, yang kemudian diadaptasi menjadi film dan sinetron.

Karya lainnya seperti Serangan Fajar dan Pengkhianatan G30S/PKI di tahun 1980-an. Ia pun juga menjabat sebagai pemimpin redaksi Monitor di tahun 1986. Pada tahun 1988, ia juga bergabung sebagai dewan majalah Senang. 

Hingga tahun 1990, tabloid Monitor merilis "Ini dia : 50 Tokoh yang Dikagumi Pembaca", suatu jejak pendapat yang menunjukkan presiden Soeharto berada di peringkat pertama, sedangkan ia di peringkat 10, berada di atas Muhammad SAW yang ada di urutan ke 11. Peringkat ini tentu menuai banyak kritik. Dia meminta maaf kepada publik melalui siaran televisi pada tanggal 19 Oktober, karena merilis hasil jejak pendapat tanpa penyuntingan. Hingga akhirnya karena banyak kritik dan tuntutan yang ditujukan padanya, ia pun dijebloskan ke penjara. 

Memasuki masa tahanan, ia terus membuat karya berupa sastra, cerita bernada absurd hingga anekdot humor. Salah satu tulisannya, berjudul "Menghitung Hari" yang mengisahlan kehidupannya selama di penjara kemudian diadaptasi menjadi sinetron SCTV. Sinetron ini cukup berhasil, hingga memenangkan penghargaan film terbaik di Festival Sinetron Indonesia tahun 1995.

Pasca menyelesaikan masa tahanan nya, ia melanjutkan kariernya sebagai pemimpin redaksi di tabloid Bintang Indonesia, lalu mendirikan perusahaan medianya bernama PT Atmo Bismo Sangotrah di tahun 1998. 

Di akhir masa hidupnya, ia divonis mengodap kanker prostat yang merenggut nyawanya pada tahun 2019. Jenazahnya disemayamkan di Karawang. Kini dengan ketiadaan sosoknya, dia meninggalkan berbagai karya hingga Tempo menyebutnya sebagai salah satu tokoh berpengaruh di Indonesia. Meski ia sering membuat karya dengan berbagai nama samaran, ia kemudian dikenal luas dengan nama Arswendo Atmowiloto. Nama Sarwendo diganti menjadi Arswendo karena dianggap lebih menjual, yang kemudian ditambah nama ayahnya di belakang. 


Posting Komentar

Terimakasih telah berkunjung. Tambahkan komentar untuk mendukung blog ini yaa.