hanyainsani.com

Njalari Kuwatir Bag. Ke-3

Sebelumnya, warga desa Pelem dan desa-desa lainnya berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pagelaran wayang kulit. Pranata acara menuturkan macapat dhandhang gula, kemudian tuan rumah memasuki arena pagelaran.


--------------------------------------------------------------------------

Seorang laki-laki berusia sekitar setengah abad memasuki arena. Tubuhnya tinggi tegap, berisi dan kekar. Gurat-gurat tipis keriput di wajahnya nampak mulai bermunculan. Kumisnya terlihat rapi dan klimis, hidungnya mancung dengan garis yang tegas. Rupanya cerah, sangat berwibawa dan menyenangkan, meski belum berbicara, wajahnya terasa begitu teduh dengan pandangan mata sayu khas Jawa, namun terlihat tangkas dan pemberani di saat yang sama. Dia mengenakan busana Jawi Jangkep, berupa beskap berwarna soga dengan blangkon serta keris yang tertancap di jarik bagian belakangnya.

Tak salah lagi, laki-laki itulah yang dipanggil Eyang oleh warga. Beliau sang tuan rumah, sekaligus dalang dari pagelaran wayang kulit malam ini. Laki-laki yang terkenal dan cukup disegani warga.

"Sugeng rawuh. Puji syukur kehadirat Allah, Gusti Yang Maha Agung dan Kuasa. Karena kesempatan baik malam ini, saya dapat melaksanakan pagelaran wayang kulit dan mengundang saudara sekalian di rumah saya. Semoga kebaikan dan kebahagiaan akan tercurah selamanya segera, baik untuk keluarga kita, untuk warga semua serta kelak bagi keturunan-keturunan kita. Tak banyak yang dapat saya lakukan. Hanya upaya sekadarnya demi menggapai hidup bahagia yang abadi. Demi mencapai kemerdekaan sejati. Bebas akan belenggu durjana dan nafsu dunia. Selamat bahagia dan nikmati pertunjukkan wayang kulit ini. Dengan kisah seorang ksatria tersohor yang membumihanguskan Alengka. Saksikanlah Anoman Duta, pemberani yang menaklukan keburukan" begitu ucapan Eyang sembari undur diri. Tepukan bergemuruh dan suara sanjungan warga beriringan dengan tabuhan gamelan mengiringi keluarnya Eyang dari arena pagelaran. 

Segera setelahnya para sinden memasuki tempatnya, berbusana kebaya kuning gading dengan selendang merah yang diselempangkan ke bahu. Sinden termuda masuk ke arena paling terakhir, wangi semerbak bunga melati, kenanga dan kantil muncul tiba-tiba. Aromanya tersebar lembut seantero pagelaran wayang kulit. 

Seketika kedatangannya menarik perhatian semua orang, tak terkecuali aku. Semua mata tertuju padanya. Bukan hanya aromanya yang begitu wangi, namun parasnya sangat cantik. Kulitnya kuning langsat cerah, senyumnya biji mentimun, matanya bulat dengan bulu mata lentik dan panjang, alisnya hitam rapi, hidungnya pas jambu air, bahkan lesung pipi di kedua sisi tak mau kalah menyempurnakan kecantikannya. Semua orang terpesona akan kecantikannya hingga terkagum tak berkedip. 

Aku dan Sumi juga terpaku. Dalam pikiranku penuh tanya, sepertinya aku pernah melihat sosok itu sebelumnya. Namun, siapakah dia?

Setelah lima sinden masuk ke arena dan menempati posisinya dengan duduk dalam postur sempurna, lampu minyak dan obor di sekitar halaman rumah Eyang dimatikan. Kini, hanya tersisa blencong di balik kelir putih yang menerangi wayang kulit dari belakang, hingga menciptakan bayangan hitam yang tegas. Nayaga menabuh gamelan nya masing-masing, sinden mulai menyanyikan tembang-tembang pembuka. Eyang sebagai dalang dari pertunjukan wayang kulit masuk kembali ke arena dan duduk menghadap kelir. 

Dua gunungan yang tertancap di pelepah pisang diambilnya dari samping sisi kiri dan kanan tangannya. Gunungan menari-nari dengan elok hasil tangan terampil sang dalang. Para sinden menyanyikan tembang diiringi musik gamelan yang harmonis. Pranata acara mengambil tugas kembali, membuka kisah pertunjukan wayang kulit, sebagai pertanda dimulainya pagelaran hingga dua jam mendatang. 

Bersambung...

1 komentar

Terimakasih telah berkunjung. Tambahkan komentar untuk mendukung blog ini yaa.