hanyainsani.com

Njalari Kuwatir




Hari petang menjelang malam. Angin  berhembus cukup kencang dari arah tenggara mengawali datangnya musim ketiga. Daun-daun kering pohon jati di hutan yang mengelilingi rumah-rumah penduduk mulai berjatuhan ke tanah, beberapa dahan rapuh dan ranting kurus menimbulkan suara patah. Suara berdecit dan memilukan telinga muncul di antara bambrongan apus di sepanjang tepian sungai Bengawan Solo. Gangsir dan jangkrik yang biasanya berlomba memamerkan derikan suara, kini menghentikan pentas malamnya seolah tidak pernah ada. Burung-burung liar seperti emprit, prenjak, kuku, gagak dan lainnya tenang dalam tidur nyenyaknya pada pohon mahoni, pohon buah dan di dahan pohon tertinggi lainnya. 

Sayup-sayup dari kejauhan terdengar suara gamelan bertalu. Gendingan landrang slamet mulai dimainkan dengan irama serempak dan menarik perhatian. Berduyun-duyun warga berjalan kaki menuju sumber suara. Meski dinginnya malam mulai menerpa, tak menyurutkan semangat dan minat mereka menyaksikan pertunjukan wayang kulit. Bapak-bapak membawa kain jarit tambahan untuk menjaga kehangatan tubuhnya, sekaligus di sisi tangan lainnya membawa obor dan ada pula yang membawa ublik untuk menerangi langkah-langkah mereka. Para bapak memimpin anak-anak dan perempuan di depan dalam beberapa kelompok. Sekaligus memastikan jalan yang mereka lalui aman dan tidak ada binatang yang sekiranya membahayakan. Beberapa warga bahkan sudah berkumpul lebih dulu sejak menjelang petang, mereka bersiap segera setelah menuntaskan urusan di sawah dan hutan membantu mempersiapkan pertunjukan wayang di rumah eyang. 

Iring-iringan warga untuk menyaksikan wayang kulit begitu bayak, seolah bintang-bintang yang turun menyemarakkan malam. Dari balik jendela rumah kayu jati, aku menyaksikan mereka dengan seksama. Keramaian dan kebersamaan warga menarik perhatianku, sehingga tanpa terpikirkan, aku telah melangkah dan menjejakkan kaki di halaman rumah tanpa alas. Pandanganku tak luput dari mereka, sehingga  menyita perhatianku sepenuhnya.

Saat aku terpaku dalam diam, tepukan tangan pelan menyentuh bahu kiri ku. Tersentak cukup kaget membuatku tersadar. Dilanjutkan dengan ucapan lembut suara perenpuan yang lirih ku dengar, "Mari ikut bersama mereka. Jangan diam saja dan saksikan pertunjukan wayang kulit malam ini". Aku tengok sedikit sembari memiringkan kepala ke arah telapak tangan itu. Jari jemari yang lentik dengan tangan berkulit kuning langsat. Belum sempat aku menjawab perempuan itu, ia lalu melangkah pergi. Aku menyaksikannya dari belakang. Hanya telapak tangan yang bisa ku lihat sekilas. Semerbak aroma wangi bunga melati, kenanga dan kantil bercampur dengan lembut dan menghilang seiring langkahnya menjauh. 

Tinggi perempuan tadi sekitar 1,5 meter, badannya langsing dan cukup berisi secara bersamaan. Di lihat dari sosoknya, nampaknya ia masih berusia seperempat abad. Tak seperti penduduk desa yang berjalan bersama menuju pertunjukan wayang kulit. Perempuan itu memakai baju kebaya cantik berwarna kuning dengan bawahan jarit bermotif parang rusak. Rambutnya disanggul dengan rapi dilengkapi tusuk konde berbentuk bunga mawar berwarna emas. Meski cahaya di sekitar hanya temaram, kilau kondenya berkelipan dan begitu indah sekalipun dilihat dari belakang. Perempuan itu berjalan kian menjauh bersama penduduk desa. Aku masih berdiam terpaku, sambil bertanya-tanya siapakah dia? Apakah aku mengenalnya? 

"Ran...Ranti" suara seorang perempuan lain memanggilku dari kejauhan. Semakin dekat semakin terlihat, tak diragukan lagi ia kawanku Sumi. "Ayok budhal bareng, jangan nunggu dan diam di rumah terus" begitu katanya. "Oh kamu mau berangkat nonton pertunjukan wayang kulit juga Sum?" tanyaku. "Iyolah. Kan jarang-jarang ada hiburan begini. Lagipula ngapain di rumah, paling tidur awal terus bantu masak lagi dan ngurus adik. Mumpung ada tontonan begini ya jangan dilewatin" kata Sumi menjelaskan tanpa ditanya lebih lanjut. "Baiklah, ayo kalau begitu" tangan Sumi menggandengku dan mengajakku berjalan bersama. Dari kejauhan, gending pareanom mulai bertalu menggantikan landrang slamet.

Seiring melangkah sembari memikirkan perempuan misterius yang mengajakku lebih dulu. 

 Bersambung...





3 komentar

Terimakasih telah berkunjung. Tambahkan komentar untuk mendukung blog ini yaa.
  1. Hi... Itu siapa nepuk²pundak..
    Masih 250an kata kayanya ini ya 🙈

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kak Saki. Mau dilanjut tapi masih mikir wkwk

      Hapus
  2. Hayoloh!
    Yang ngajak siapa tuh??
    beda sendiri dia kan??

    BalasHapus